
Jika prajurit pergi tanpa amunisi ke medan perang, maka sudah dapat dipastikan nasib apa yang menimpanya. Demikian juga penulis atau pewarta. Perlu selalu mengisi ‘amunisi’ berupa informasi awal sebelum terjun ke medan liputan. Aku teringat nasihat Pemred (Pemimpin Redaksi) semasa di media online: “Jangan Pergi, Sebelum Kepala Berisi.” Si Pemred tidak sekedar bicara. Setiap orang di ruang redaksi selalu diteror untuk memahami betul pesan keramat tersebut.
Ceritanya begini, satu siang selepas makan — yang juga namanya makan siang — si Pemred berkelebat dari ruang sakralnya ke meja tempatku biasa ‘melayari’ dunia Internet. “Telepon orang ini buat kritik lambannya pembangunan (bandara) Kualanamu!!” katanya sembari menyodorkan ponsel miliknya. Tertera di situ nama seorang narasumber yang tak kukenal. Karena kebiasaan memantau berita Internasional yang biasa kuterjemahkan untuk media tersebut, aku sengaja mengabaikan berita-berita lain. Termasuk (saat itu) pembangunan Kualanamu.
Aku beranikan diri menelpon narasumber yang dimaksud. Hasilnya? Kami berbicara dengan kebingungan dan namaku pun kena ‘black list’ oleh sang narasumber. Dia mengira aku sedang mempermainkannya. Musibah pun semakin membesar saat kusampaikan pada pimpinan. Dia memarahi aku dengan tatapan nan buas. Tapi, setidaknya aku diberi kesempatan untuk belajar dari pengalaman tersebut.
Aku ingat, dalam satu kesempatan tugas mewawancara Pastor Antonius Siregar OFM Cap di Paroki Tiga Binanga untuk dimuat di Menjemaat. Mirip seperti pengalaman sebelumnya, aku belum pernah bertemu secara fisik dengannya. Tugas yang diberikan pun bukan main-main: Kisah Iman sang Imam. Di samping itu, aku juga belum pernah menyambangi Paroki Tiga Binanga. Bagaimana karakter Pastor Antonius? Apa cerita yang menarik untuk diangkat bagi pembaca? Apakah ada pengalamannya yang mendebarkan? Dan lain-lain? Seluruh pertanyaan awal ini kujadikan awal menyiapkan ‘amunisi’.
Sungguh beruntung bahwa sejawatku, Anne Griselda Manullang pernah mewawancarai Pastor Antonius (dimuat di majalah Menjemaat sebelumnya). Di samping itu Pastor Hubertus Lidi OSC, Pemred Menjemaat, juga beri kata kunci penting: “Pastor Anton baru saja merayakan Pesta Emas Ultah Imamat” (tahun 2017) dan “Pastor Anton adalah Imam di bawah angkatan Uskup Emeritus KAM, Mgr. Pius OFM Cap.” Semua itu kucatat.
Satu info menarik lalu memancing perhatianku, ‘Uskup van der Besbes’. Dalam liputan Anne dan ‘bocoran’ dari Pastor Hubert tidak menguak info ini secara mendalam. Kemudian, dari penelusuran di mesin pencari Google hanya menemukan satu hasil pencarian yang tepat. Namun, bincang di forum Kaskus itu pun hanya sekedar menyebutkan bahwa Uskup van der Besbes adalah legenda di KAM. Nah, ini dia pasti menjadi cerita yang menarik. Khas.
***
Aku tiba di Paroki Tiga Binanga lewat tengah hari. Tak kuduga bahwa Pastor Antonius dan rekannya, Frater Pahala Sitohang OFM Cap, menunggu diriku untuk makan siang bersama. Wah, pas betul. Sepertinya benar petuah “cinta turun dari perut ke hati”. Setidaknya wawancara dengan Pastor Antonius menjadi rileks karena diisi waktu makan bersama.
Setelah mengupas riwayat pribadinya, aku melancarkan pertanyaan tentang kisah mula sebutan ‘Uskup van der Besbes’. Aku kaget, sebab Pastor Antonius terkekeh keras mendengarnya. “Wah. Tapi itu kan sudah cerita lama,” dia coba mengelak. Dengan tenang, aku meyakinkan bahwa kisah tersebut sungguh menarik. Di samping itu, penuturan tertulis tentang kisah tersebut tidak ada sama sekali. “Jika pun ada, hanya sedikit disebut dalam Internet,” kataku. Pastor Antonius tampak sumringah. Mungkin tak menyangka bahwa aku telah menelusuri sedemikian rupa hanya untuk menuliskan kisah tersebut. “Baiklah. Tapi tunggu aku ambil rokok dulu,” jawab sang Pastor sepuh. Dan kembali terkekeh.
NB: Setelah diterbitkan di majalah Menjemaat, aku coba mengukur seberapa kuat kisah tentang Pastor Antonius ini menarik perhatian pembaca. Setidaknya di blog pribadi (anantabangun.wordpress.com) ini. Ternyata, artikel ini hingga sekarang, tetap menempati jumlah pembaca paling tinggi dibandingkan puluhan artikel tulisanku lainnya.
Kisah tersebut, tentu saja, tak akan bisa kutuliskan bila saja tanpa persiapan ‘amunisi’ terlebih dahulu.

(Ananta Bangun) // ditulis untuk majalah berbahasa Karo, RALINGGUNGI