KEHENINGAN. Sesuatu Yang Hilang atau Terlupakan?


RP. Anton Lelaona, SVD (dok. Pribadi) | Repro untuk halamah Lentera news

Bergulirnya era  kehidupan itu bak arus sungai. Dan jika metamorfosis  tersebut  menggambarkan masa terkini, maka ia sungguh  mengalir amat deras. Keadaan tersebut tak lepas dari  temuan dan  pembaharuan pada teknologi  informasi dan komunikasi. Secara terus menerus.

Perkembangan tersebut nyatanya turut menyeret imbas. Dimana setiap insan dapat memandangnya buruk atau baik. Namun, tak ada yang menyangkal teknologi canggih semakin mengkerdilkan relasi sosial kita  dengan sesama. Sebab seluruh peristiwa dan fakta di dunia bisa kita genggam dalam bentuk gawai  maupun perangkat keras komputer. Sehingga ke depannya, manusia melek teknologi hanya butuh ruang seukuran peti mayat, toilet mini, koneksi internet dan makanan instan.

Laksana batu-batu cadas, ternyata tidak semua insan hendak turut terbuai arus zaman. Pater Antonius Yohanes  Lelaona, SVD termasuk diantara sosok  tersebut. Di sela aktivitasnya sebagai Pastor Rekan di Paroki Santo Kristoforus Siborongborong, Pater Anton berbagi kiat perihal esensi keheningan dalam hidup.

“Ilham tentang pentingnya  keheningan dalam hidup berawal dua buku yang pernah saya rujuk,” terang Imam kelahiran 11 Desember 1985  tersebut. “Yakni buku ‘Minum Dari Sumber  Sendiri’ dari buku studi STFT Widya Sasana Malang. Serta tulisan Prof. DR. Berthold Anton Pareira, O. Carm  berjudul  ‘Spiritualitas Ekologi’ dalam buku ‘Dari Alam Menuju Tuhan’.”

Tulisan inspiratif tersebut sungguh mengena dalam hati Pater Anton terkait pengalaman hidupnya. “Ketika saya tidak bisa hening, segala  sesuatu sepertinya hambar. Saya melakukan sesuatu, tetapi itu hanya sebatas kewajiban saya saja,” akunya. “Saya tidak bisa menghayatinya dalam kehidupan. Hidup menjadi gerusa-gerusu alias tidak tenang, maunya serba cepat tetapi tidak ada penghayatan dalam  kehidupan  beriman.”

Ia mengimbuhkan, aneka kegiatan yang berkenaan dengan teknologi juga mempengaruhi konsentrasi tatkala  studi seminarinya. “Pada saat saya masih menempuh pendidikan di Seminari Tinggi SVD di Malang, saya merasakan bahwa keheningan itu sangat  dibutuhkan. Saya tidak bisa duduk belajar dan membaca dengan tenang, kalau saya tidak hening. Hidup saya menjadi semrawut dan tidak menentu. Pikiran jadi tidak terfokus dan bercabang-cabang.”

“Studi filsafat dan teologi membutuhkan keheningan. Bahkan, hingga sekarang ketika jadi Imam, keheningan itu sangat penting untuk menghadirkan Roh Kudus terutama dalam mempersiapkan diri dalam perayaan Ekaristi kudus dan  homili,” ujarnya.

Dalam penerapan hidup hening juga turut mengasah minat Pater Anton dalam dunia menulis. Hingga kini, telah telah empat buku ia terbitkan. Yakni, ‘Lamafa di Lautan Lain’ (Penerbit Bejawa Press), ‘Berteologi di Tengah  Pergulatan Hidup’ (Penerbit Pustaka Nusatama), ‘Hidup  Bakti yang Misioner di Tengah Arus  Globalisasi’ (Penerbit Kanisius) dan ‘Dari Alam:  Manusia Belajar Mencintai’  (Penerbit Obor).

 

Larut Dalam Candu Teknologi?

Nicholas Carr dalam bukunya “The  Shallow’ memaparkan dampak buruk Internet, yang juga bagian besar dari teknologi infomasi dan komunikasi. Dalam buku tersebut, Carr  mengatakan, seperti junk food yang membuat kita obesitas dan  terkena kanker. Informasi  sampah juga sama berbahayanya. Otak manusia mengalami kelebihan informasi tidak penting yang dibuat ‘seolah’ penting. Tak lama, kemampuan berpikir manusia direnggut sedikit demi sedikit. Mudah terdistraksi. Sehingga banyak insan menjadi terlalu reaktif dalam  menilai dan memberi opini terhadap suatu berita. Pengguna Internet juga mudah  terombang-ambing terhadap luapan informasi yang tersebar di  internet.

Temuan Nicholas Carr tersebut turut diamini oleh Pater Anton. Menurutnya, manusia masa kini telah candu hidup serba cepat. “Contoh nyata saja kalau ada pesan SMS lama dikirim karena jaringan rusak dia sudah gelisah bukan main.  Kehadiran smartphone yang setiap hari menawarkan aneka aplikasi cepat membuat banyak manusia zaman sekarang tidak mau bahkan tidak berani lagi untuk hening melihat ke dalam diri,” ucapnya.

Fenomena sosial ini berpengaruh kepada kehidupan bersama. Manusia tidak lagi menghayati proses dalam kehidupan. “Kita menjadi manusia yang tidak sabar. Manusia zaman ini maunya cepat. Yang lambat akan ketinggalan. Karena  maunya cepat, maka yang lambat sedikit saja langsung dimarahi.”

“Oleh karena itu, baik bagi kita untuk sejenak hening meluangkan waktu melihat ke dalam dan mengevaluasi diri. Tuhan saja bisa berhenti bekerja dalam proses penciptaan. Dia melihat hasil karya-Nya. Karena itu, diciptakannya hari ke-7 untuk beristirahat memulihkan tenaga, memulihkan hati dan pikiran yang sumpek, agar di hari yang baru kita bisa segar kembali. Itulah manfaat dari keheningan yang kita ciptakan dalam hidup. Di dalam jiwa yang sehat terdapat tubuh yang kuat,” kata Pater Anton.

Bagi Pater Anton yang kini tengah mempersiapkan bukunya yang ke-5 dan 6, hidup  hening masih sangat relevan sekali bagi setiap insan. “Bukan hanya untuk kaum biara-wan/wati tetapi untuk semua orang. Dengan menciptakan  keheningan, kita  mampu mengolah emosi. Kita bisa berpikir dengan jernih bila sedang menghadapi masalah dalam  kehidupan,” katanya.

“Orang zaman sekarang yang tidak bisa hening hidupnya akan menjadi tidak menentu. Dia hanya sekadar ikut arus perkembangan tetapi tidak mendalam. Misalkan saja seorang  penulis. Seorang penulis yang menulis dalam keheningan akan mampu menghasilkan tulisan  mendalam.”

Ia menambahkan, orang yang  mencintai keheningan juga bersikap rendah hati bisa membuat otokritik diri bukan  hanya bisa mengkritik orang lain. “Orang yang bisa hening akan terpancar dari  wajahnya. Wajah yang selalu  menampakkan keceriaan dan senyuman. Itulah yang saya lihat dalam kehidupan sosial dan saya alami sendiri dalam kehidupan saya,” tutur Pater Anton.

 

— ditulis untuk Lentera news edisi Mei 2015