Sepucuk Surat Istimewa


Copyright: static.pexels.com

Artikel ini merupakan naskah yang kupersiapkan untuk membuat sebuah buku digital, bersama sejumlah teman-teman. Menepati janji dari artikel blog sehari sebelumnya. Kiranya teman-teman yang juga tengah mempersiapkan naskahnya beroleh inspirasi. Amin.

***

Hari bahagia dalam hidupku sering kualami. Bisa dikatakan, hidup ini sendiri adalah kebahagiaan. Seperti kali pertama orangtua memeluk dan menimangku penuh kasih sayang. Atau saat aku berhasil memenangkan pertandingan di sekolah. Hingga karunia Tuhan dalam keluarga baru yang kubina bersama Istriku, Eva Susanti Barus.

Tentu saja dari banyak hari bahagia tersebut, ada beberapa kenangan yang selalu terpatri dalam ingatan. Di antaranya adalah pengalaman pada pertengahan tahun 2001 silam. Mengenang ini rasa bahagia pun sering bercampur haru. Karena peristiwa ini mengingatkan pada almarhum bapakku. Ya, ketika itu bapak tengah menderita sakit yang membuat tubuhnya ringkih. Dari mamak dan sanak saudara lain bilang, bapak terkena stroke. Akan tetapi dari literatur dan pengakuan penderita stroke lainnya tak memiliki tanda atau ciri sakit sama dengan yang dialami almarhum bapak. Penjelasan mamak yang lebih jernih. Konflik di tempatnya bekerja lah yang mempengaruhi kesehatannya. Singkatnya, fikiran dan hati yang tak ‘lurus’ membuat pria yang kukagumi ini kehilangan motivasi dan fisiknya terus melemah.

Dalam kondisi seperti itu, rumah seperti hanya ruang bermuram durja. “Kapan bapak akan sehat?”, “Apakah kita masih bertahan hidup dengan keadaan seperti ini”, hingga “Jika susah, tak ada lagi saudara dan teman yang mau peduli” adalah fikiran-fikiran buruk yang selalu terucap. Kami, anak-anak, cuma mampu terdiam dengan hati yang selalu dipenuhi rasa takut dan sedih.

Nah, bagaimana saya bisa mengalami hari bahagia di masa itu?

***

Saya kurang mengerti di masa sekarang ini, tetapi pada saat itu saya ingat ada satu program pemerintah dalam bidang seleksi penerimaan mahasiswa baru untuk universitas negeri. Program ini sendiri, semasa itu, lebih sering disebut program bebas tes. Sebabnya, siswa penerima yang berhasil lolos seleksi memang tidak perlu lagi mengikuti ujian resmi.

Walaupun belum tentu benar secara keseluruhan, namun desas-desus menyebutkan bahwa siswa yang lolos bebas tes adalah pelajar yang pintar. Adalah satu kebanggaan bila berhasil meraih ‘tiket cepat’ tersebut. Setahun sebelumnya (pada tahun 2000), aku menyaksikan sendiri seorang kakak senior yang berhasil dalam program bebas tes disambut dan dipuji para guru sekolah kami. “Selamat. Selamat ya, kamu sungguh hebat,” ucap seorang guru sembari menjabat tangannya erat.

Pada saatnya, hari yang mendebarkan itu pun tiba. Seorang guru kami, bapak Ramli, memberikan sepucuk amplop coklat padaku. Logo dan nama Dinas Pendidikan Sumatera Utara tertera di bagian depan amplop ini. “Yang membuka nanti orangtuamu ya,” pesan pak Ramli. Aku mengiyakan sementara fikiranku berkecamuk, apakah permohonanku untuk masuk program bebas tes diterima atau gagal? Kedua hal itu saling berdebat dan aku benar-benar tak tahu hasil mana yang akan tertera dalam surat di tanganku.

Setiba di rumah, aku melihat Mamak sudah pulang dari mengurus ladang di kampung Kubu Simbelang, kabupaten Karo. Saat itu, Mamak harus mencari tambahan biaya kebutuhan rumah dan sekolah kami dengan berladang. Selama satu minggu, Mamak biasanya mengurus tanaman di ladang selama tiga hari. Hari itu Mamak sudah selesai masak dan sedang menyuapi Bapak.

“Bagaimana hasil bebas tes-mu, Nan?” tanya Mamak. Sebelumnya, aku memang telah bilang bahwa hasil program tersebut akan diberikan pada akhir pekan. Dengan agak ragu-ragu aku menyerahkan amplop tersebut.

Seusai menyuapi Bapak, Mamak membuka amplop dengan hati-hati seolah itu surat dari tempat suci. Perlahan dan seksama Mamak membacanya. “Apakah kam berhasil diterima, (a)nakku?” Mamak bertanya kepadaku. Seolah tidak percaya, meskipun jelas tertera kata ‘diterima’ dalam surat itu. Aku meraih kembali surat itu dan membacanya secara seksama. “Iya, Mak. Aku berhasil. Ini ada jadwalnya disuruh untuk pendaftaran ulang dan cek kesehatan.”

Entah bagaimana, sulit dijelaskan dengan kata-kata, tiba-tiba Bapak menitikkan air mata. Dia memelukku dengan hangat. Mamak juga tak kuasa menahan haru. “Tuhan Yesus sungguh baik. Tuhan Yesus sungguh baik,” kata Mamak yang teringat pernah berucap ‘mungkin tak akan mampu membiayai pendidikanku ke perguruan tinggi, seandainya tidak lulus program bebas tes ini.’

Mamak pun mengajak kami sekeluarga berdoa, ketika adik-adikku — Lawrent dan Bastanta — juga sudah pulang ke rumah. Seusai doa kami melihat seulas senyum bahagia Bapak. Senyum yang jarang sekali menghiasi wajahnya yang kerap murung dan letih. Aku tercenung sendiri, sebab mengetahui ini semua adalah karena kuasa dan kehendak-Nya. Sebab aku sendiri bukanlah seorang pelajar dengan prestasi yang menonjol. Namun, Tuhan lah yang bermurah hati menunjukkan jalan agar keluarga kami tak selalu terpuruk dalam tantangan hidup.

***

Memang cukup aneh, jika kebahagiaan hadir melalui sepucuk surat. Namun bagi kami ini tetaplah surat yang istimewa. Di dalamnya terselip harapan baru untuk kami perjuangkan. Kebahagiaan tersebut semakin membuncah ketika Lawrent juga berhasil meraih program bebas tes. Sementara Bastanta, walau tidak melalui program yang sama, berhasil diterima masuk di perguruan tinggi negeri. Hal ini memberi kesadaran baru bagiku, ternyata kebahagiaan bisa dikecap di tengah masa penderitaan.

Pada tahun 2005, Bapak akhirnya dipanggil Allah ke pangkuan-Nya. Tidak banyak kasih yang dapat kami, anak-anaknya, berikan selain belajar dengan sungguh-sungguh. Banyak yang melihat bahwa Bapak hanya menjadi beban dalam hidup kami. Namun, sungguh kami mendapati bahwa pengorbanannya amat besar demi masa depan anak-anaknya. Kami juga belajar dari-nya bahwa kebahagiaan adalah anugerah yang selalu ada dalam kehidupan. Hidup ini sendiri, sebuah kebahagiaan.

 

Ananta Bangun

Putra sulung dari (alm.) Aziz Bangun dan Rosianna br. Purba. Abang dari Lawrent br Bangun dan Bastanta Bangun, dan suami berbahagia dari Eva Susanti br. Barus.

Kini bekerja penuh waktu di Komisi Komunikasi Sosial – Keuskupan Agung Medan. Sebuah lembaga dengan peran media kehumasan untuk Gereja Katolik setempat.

Di sela waktu senggang, memberikan training Jurnalistik Dasar dan desain media. Bersama Istri, mengasuh konsultan pro bono untuk berbagi pengetahuan dan panduan membangun media di gereja dan lembaga nirlaba lainnya.