
“Bagaimana caranya belajar menulis?” Sepotong pertanyaan ini bukan sekali dua kali disuguhkan dalam perbincangan dengan beberapa temanku. Kadang mereka langsung lebih tajam, “Bagaimana caranya menulis buku?” Jawaban atas pertanyaan ini, ditujukan pada penulis senior mana pun, adalah: “Menulis lah!”
Aku pun pernah tertegun dengan ‘sabda’ seperti itu. Seolah dengan mendengarnya saja sudah cukup membuat pendengarnya lihay menulis. Tidak! Inti ucapan tersebut ialah bertindak lah. Ya, langsung menulis. Apa saja. Mulai dari tetangga yang menyebalkan, motivasi hebat dari seseorang atau buku, serta kisah perjalanan seru saat belanja di Pajak Melati.
Kegiatan seperti itu kemungkinan memberi hasil tak ubahnya mengupas bawang merah dengan jari. Perih dan berurai mata (di bagian ini aku agak hiperbolis), dan mendapati: “Wah, aku ngapain saja ini? Sudah banyak menulis, kok sepertinya nggak ada hasilnya.” Hal itu wajar. Dan mengingatkan aku pada masa awal belajar menulis di blog. Kala pertama rasanya tak berbeda dengan suasana kuburan. Sepi kunjungan dan komentar dari orang lain. Namun aku coba terus saja menulis. Di sembarang tempat: mulai dari blog, Facebook, media online serta minta tolong pada kawan-kawan wartawan agar dimuat di media mereka (huehehehe). Benarkah seluruh ‘pengabdian’ untuk menulis seperti sia-sia belaka?
Aku teringat ketika sahabatku, Vinsensius Sitepu, mendorong agar sejumlah tulisanku di majalah online Lentera dibuatin jadi buku digital (e-book). Dengan ogah-ogahan aku menerima dan mengirimkan soft copy tulisan tersebut. Dan, voila! Buku tersebut kini tersemat di rak toko online Google Books. Astaga, aku baru menyadari zaman telah mengubah segalanya lebih instan dan gegas. Remah-remah tulisan yang lama bisa dirajut kembali menjadi sebuah buku utuh. Jadi mengapa tak semua orang memanfaatkan kesempatan ini? Aku pun masuk lagi pada momen kebingungan.

Puluhan Tahun Mempersiapkan Tulisan
Buku karya Dale Carnegie dengan kombinasi warna cover jingga dan putih itu memikatku. Judulnya: Sukses Berkomunikasi. Untuk memilikinya, dengan enggan kupersembahkan selembar ‘senyum presiden’ yang — tentu saja — disambut sang kasir dengan sumringah.
Menelusuri ‘Daftar Isi’, aku tergelitik langsung melompat ke bab 4: Berbicara di Hadapan Publik dengan Percaya Diri dan Meyakinkan. Carnegie mengisahkan bagaimana seorang muridnya di kelas pidato (saat itu belum ada istilah kelas presentasi), Gay K, belajar untuk berbicara di depan khalayak untuk pertama kali. Pak Gay ini tidak pernah berpidato di hadapan umum sebelum dia mengikuti kursus pidato yang diadakan Carnegie.
Gay merasa ketakutan. Dia khawatir bahwa pidato mungkin sebuah seni yang sukar dipahami yang tak mampu dilakukannya. Akan tetapi, di sesi keempat kursus tersebut, saat dia berbicara tanpa persiapan, dia membuat pendengar tersihir. Gay diminta berbicara tentang “Kekecewaan Terbesar dalam Hidup Saya.” Gay pun memberi pidato yang begitu menyentuh. Sulit bagi orang-orang yang mendengarkan untuk menahan air mata mereka. Bahkan, Carnegie nyaris tidak dapat membendung air mata yang menggenangi matanya. Ini yang dituturkan Gay:
“Kekecewaan terbesar dalam hidup saya adalah saya tidak pernah mengenal cinta seorang ibu. Ibu saya meninggal saat saya baru satu tahun. Saya dibesarkan oleh beberapa bibi dan kerabat lainnya yang begitu larut dengan kehidupan anak-anak mereka sehingga tidak memiliki waktu untuk saya. Saya tidak pernah tinggal lama dengan salah satu dari mereka. Mereka selalu muram melihat saya datang dan merasa senang saat saya pergi. Mereka tidak pernah menunjukkan ketertarikan kepada saya atau mengasihi saya. Saya tahu saya tidak diinginkan. Bahkan saat saya masih kecil saya dapat merasakannya. Sering kali saya menangis sampai tertidur karena merasa kesepian. Keinginan terdalam di lubuk hati saya adalah memiliki seseorang untuk membaca buku rapor saya. Namun, tidak ada yang melakukannya. Tidak ada yang peduli. Saat masih kecil yang saya inginkan hanyalah kasih sayang — dan tidak ada yang pernah memberikannya kepada saya.”
Apakah Gay menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk mempersiapkan pidato itu? Tidak. Dia menghabiskan waktu dua puluh tahun. Dia mempersiapkan dirinya untuk menuturkan itu saat dia menangis sampai tertidur saat dia masih kecil. Dia telah mempersiapkan dirinya untuk pidato itu ketika hatinya terasa sakit saat tidak ada yang memintanya untuk menunjukkan rapor dari sekolah. Tak heran dia dapat membahas topik itu. … . Dia tak perlu memompa semua memori dan perasaan itu. Dia tidak perlu berusaha keras menyampaikan pidato itu. Yang harus dilakukannya adalah membiarkan perasaan dan memori yang dikuburnya muncul kembali ke permukaan seperti minyak bumi dari sumur.
Tiba-tiba seperti ‘bola lampu menyala’ di dalam kepalaku (memang seperti itu lah kurasakan): bagaimana jika aku menerapkan ilham ini dalam komunitas pembelajar menulis? Menuliskan pengalaman yang telah dialami berpuluh tahun, dan memuatnya menjadi sebuah buku digital (sebagai wadah pembelajaran yang murah)? Kami tidak perlu ikut-ikutan menuruti tema “Kekecewaan Terbesar dalam Hidup Saya”, tetapi “Hari Aku Merasa Bahagia”. Yakni, satu pengalaman berbahagia yang sungguh berkesan, bahkan diingat hingga akhir hayat.
Aku senang, karena menuturkan pengalaman dalam tulisan tentu akan berkutat dengan teknik penulisan narasi. Hasil karya tersebut akan menjadi feature, yang lebih mudah dipelajari. Kemudahan menuang seluruh pengalaman menjadi tulisan, kiranya juga ‘menularkan’ gairah baru yang lahir sebagai minat menulis.
Aku menyampaikan hal tersebut pada Istriku, Eva Susanti Barus. Dan dia turut antusias. Berapa orang hendak kita libatkan? 50? 30 atau 20 orang? Akhirnya kami sepakati untuk menggandeng 10 orang lebih dahulu. Ternyata tidak semudah bayangan semula. Aku berfikir, mungkin karena aku menjabarkan secara lisan. Sehingga pesan yang disampaikan mudah berubah-ubah, baik dari aku maupun Istriku. Sebab itu aku menuliskan artikel ini di blog, agar penjabarannya lebih sederhana. Dan, mudah-mudahan, bisa mengilhami teman-teman yang kami gandeng.
Banyak dari kita mungkin telah mengetahui betapa bermanfaat dan besar peran sebuah keahlian menulis. Sebagaimana dituturkan oleh Xavier Quentin Pranata di sini, bahwa menulis pun berdaya untuk pelayanan bagi Tuhan. Namun cukupkah sekedar mengetahui??
Para pembicara yang membicarakan apa yang diajarkan hidup kepada mereka tidak pernah gagal dalam menarik perhatian para pendengar.
— Dale Carnegie
Catatan:
Sehari setelah mempublikasikan artikel ini di blog, aku juga akan menerbitkan draft artikel yang telah kutulis untuk buku online bertema “Hari Aku Merasa Bahagia” tersebut. Sebagai inspirasi bagi teman-teman pembelajar menulis di buku ini. Semoga berbuah berkat dari Tuhan. Amin.