
Semasa balita, seorang tenaga medis keliru memberikan vaksin polio untuk kakinya. Kesalahan tersebut berimbas fatal, hingga kini kakinya tidak bisa berkembang sebagaimana mestinya. Namun, kelemahan fisik tersebut tidak menyisakan pedih di hati Hidupta Kacaribu. Ia lebih memilih untuk bersuka cita dalam menjalani hidupnya. Kegembiraan tersebut semakin meluap, saat dirinya menemukan dunia musik. Ia pun larut dalam gelombang nada dalam ibadah Gereja. Serta memuji nama Tuhan.
Kala pertama bersua dengan Menjemaat, Hidupta Kacaribu dibonceng oleh keponakannya Jupri ke tempat pertemuan di Gereja Katolik Stasi St. Paulus Kacaribu. Setelah menyapa dengan sapaan khas suku Karo: “Mejuah-juah”, dengan cekatan tangannya menurunkan dua roda kecil yang terpasang pada sebatang besi. Ternyata dengan alat itulah yang memudahkannya ‘berjalan’.
Dengan senyum masih terpancar di wajahnya, Hidupta beringsut gegas menuju tempat kibor di samping altar gereja. “Adik kita ini sering memainkan piano untuk ibadah misa di Gereja Katolik Kacaribu. Bahkan, sebelum misa untuk umat dewasa, ia juga mengiringi nyanyian dalam ibadah bagi anak-anak Asmika,” tutur Ketua Dewan Stasi Kacaribu, Adil Purba kepada Menjemaat. Sementara Hidupta tampak asyik menyetel kibor dan memainkan satu lagu bertema Natal.
Setelah mengiyakan penuturan bapak Purba, Hidupta mengatakan dirinya tidak pernah mengikuti kursus resmi sehingga mahir memainkan kibor. Semuanya secara otodidak atau mengamati dan uji coba sejak tahun 2008 lalu. “Bahkan, saya juga tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah resmi hingga kini,” aku putra dari pasangan Pulungan Kacaribu dan Sabar br Bangun ini, yang mengatakan dirinya belajar membaca dan menulis dari kakak kandungnya.
Ia mengisahkan bahwa kekurangan fisiknya tersebut bukan disebabkan oleh kecelakaan. Namun kesalahan tenaga medis semasa ia masih balita. “Pada saat itu, usia saya sudah saatnya mendapat vaksin polio. Namun, pihak medis salah menyuntikkan vaksin tanpa ia sadari. Keluarga kami pun terlambat mengantisipasi, karena tidak tahu menahu tentang vaksin tersebut. Pada akhirnya, kaki saya tidak bisa berkembang sebagaimana normalnya,” kata Hidupta. Tetapi kenyataan tersebut tidak menjatuhkan mental Hidupta. Sebaliknya, ia memilih bersuka cita. Terlebih ketika mendapatkan dunia musik sebagai tempat hatinya berlabuh.
Semenjak kecil, Hidupta telah menggemari dunia musik. Utamanya alunan lagu Gereja. “Bila ada waktu senggang, saya lebih senang belajar memainkan alat musik. Namun hanya alat musik piano yang lebih sesuai dengan minat saya,” katanya.
Pada awalnya, bungsu dari enam bersaudara ini lebih kerap mengamati teknik memainkan kibor dari temannya yang mengiringi lagu di Gereja. “Salah satunya dari teman saya yang bernama Valentinus Ginting. Setelah saya amati dan bertanya sedikit, saya lalu beranikan diri untuk berlatih setiap Sabtu malam di Gereja kami ini.”
Bersuka cita karena talenta dari Allah
Dengan bekal berlatih selama lebih dari lima tahun, Hidupta pun mulai berinisiatif melayani misa Gereja Katolik di Kacaribu. Peran tersebut dijalaninya hingga kini. Sekian lama melayani sebagai pianis untuk Gereja, membuat talentanya semakin terasah. Kabar tentang bakatnya pun meluas, hingga mengundang satu studio rekaman lagu Karo untuk mengajaknya bekerjasama.
“Namun hasil rekaman tersebut hingga kini belum pernah saya dapati. Mungkin pihak studio kurang berminat dengan hasil rekaman tersebut. Saya kira, mungkin karena gaya permainan kibor saya yang lebih berwarna nada rohani,” ungkapnya.
Sebagaimana cobaan pada fisiknya, tantangan tersebut juga tidak mengurangi kebahagiaan Hidupta. Sebab orientasinya dalam bermusik adalah bersukacita melayani Tuhan dalam ibadah di Gereja. “Saya lebih memilih bersuka cita karena talenta yang dianugerahkan Allah,” kata Hidupta seraya menyatakan dirinya juga sesekali dipanggil untuk manggung dalam acara adat dan gereja di luar Kacaribu. “Jumlah panggilan biasanya lebih ramai pada bulan Desember seperti ini. Karena berkenaan dengan perayaan Natal.”
Di masa mendatang, Hidupta berharap bisa mendapat kursus resmi untuk mempelajari not lagu. “Selama ini saya kan hanya pakai feeling saja. Jika telah mahir not lagu, saya cukup diberi stensilan. Tanpa harus saya celingak-celinguk untuk memahami lagunya,” ujar Hidupta kepada Menjemaat.
Pengetahuan memainkan alat musik untuk Gereja juga hendak diajarkannya bagi generasi muda di Kacaribu. Sehingga Stasi Kacaribu bisa mendapat banyak pianis untuk membantu ibadah misa di Gereja. “Semoga saya berkesempatan untuk menularkan keahlian ini. Meskipun hingga saat ini minat dari kalangan anak muda Katolik masih minim. Namun, saya yakin akan ada generasi muda yang memiliki talenta ini,” kata Hidupta meyampaikan harapannya.
Sebagaimana dikisahkan kepada Ananta Bangun | dimuat di Menjemaat edisi Januari 2015