
Menjadi pengurus gereja merupakan bagian dalam hidup saya. Walaupun tak ditopang kemampuan ekonomi yang mumpuni. Namun, pernah juga saya memilih meninggalkan gereja-Nya. Hingga saya mengalami ‘cambuk’ kecil dari-Nya. Pengalaman yang justru melecut saya untuk semakin bersemangat melayani Tuhan dalam gereja-Nya. Berikut petikan kisah saya.
Saya lahir dalam keluarga Katolik yang taat. Keteguhan iman tersebut kami serap dari orangtua kami. Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, ayah saya juga melayani gereja sebagai salah seorang pengurus di Paroki Pematangsiantar III. Kini, namanya telah berganti nama menjadi Paroki Tiga Dolok.
Sebagaimana laiknya orang Batak. Selepas usia remaja, saya memutuskan merantau. Meninggalkan keluarga bukanlah hal yang mudah. Namun, saya bulatkan tekad untuk memperoleh rezeki di luar kampung sendiri. Pada tahun 1976, saya pergi merantau ke daerah perkebunan di kampung Kandang Horbo (kini disebut Hariantimur). Satu tempat yang kini masuk wilayah kabupaten Labuhanbatu Utara. Stasi ini sendiri merupakan bagian dari Paroki Aek Kanopan di Kevikepan St. Mateus Rasul.
Petualangan saya ke Kandang Horbo termasuk nekat. Saya tidak membawa uang bekal yang besar. Namun, saya meyakini rahmat Tuhan akan dilimpahkan bagi insan yang tekun berdoa dan bekerja keras. Walaupun pada awalnya penghasilan yang sangat terbatas, saya bisa menyimpan tabungan untuk cadangan bila terjadi sesuatu tak terduga. Semisal, bila jatuh sakit.
Dua tahun berselang, saya menyunting seorang gadis di desa Kandang Horbo, T. Limbong. Berkat rahmat-Nya dalam keluarga kami dikaruniai 9 anak. Walaupun dengan perekonomian rendah, saya tak surut melayani Tuhan sebagai pengurus gereja setempat. Semua itu saya lakukan tulus tanpa berharap imbalan ataupun merasa terbeban.
Keluarga kami kerap menerima para Pastor ataupun Suster yang melayani jemaat di Paroki Aek Kanopan, khususnya di stasi Hariantimur. Beberapa diantaranya Pastor Arie van Diemen OFMCap dan Sr. Imelda Harianja, KYM. Meskipun fisik rumah kami seadanya saja, namun keakraban bersama para klerus adalah kebahagiaan dan kebanggaan bagi keluarga kami. Bahkan, hubungan yang terjalin sudah bagaikan keluarga kandung sendiri. Sebagaimana keakraban kami dengan Sr. Imelda Harianja, KYM. Beliau menitikkan air mata ketika dipindahtugaskan dari Paroki Aek Kanopan.

Hidup Menggereja
Pelayanan terhadap gereja, meskipun sangat menyenangkan saya dan keluarga, juga diselingi tantangan. Dinamika komunikasi dan organisasi dalam kepengurusan gereja tak lepas dari konflik. Dalam satu waktu, saya pernah merasa terbeban berat. Gundah hati mempengaruhi fikiran saya untuk berhenti sebagai pengurus.
Keputusan tersebut saya sampaikan ketika pemilihan pengurus baru digelar. Walaupun tersulut permasalahan secara pribadi, saya merasa tak elok mengutarakan argumentasi tersebut. Saya menyampaikan alasan sekedarnya saja.
Selepas tanggung jawab pengurus gereja, saya dan keluarga kemudian fokus mengurus ladang yang kami sewa. Namun, satu ‘cambukan’ kecil saya alami. Saya menderita sakit keras untuk waktu lama. Hingga terpaksa menjalani rawat inap di Aek Kanopan. “Mengapa ini bisa terjadi? Ya, Tuhan. Aku sungguh menyesal karena meninggalkan rumah-Mu,” demikian saya selalu berdoa dalam bathin.
Para tetua dan umat gereja Hariantimur juga memberi wejangan yang sama ketika menjenguk saya. “Jangan lah kamu tinggal tanggungjawabmu sebagai pelayan gereja, Siallagan. Sakit yang kamu alami ini merupakan pertanda,” ucap salah seorang tetua di Stasi Hariantimur. Hati saya pun luluh.
Setelah pulih, saya pun kembali mengajukan diri sebagai pengurus gereja. Saya memilih berdamai dengan insan-insan dan hati saya sendiri dari gejolak emosi. Di masa kepemimpinan saya sebagai Ketua Dewan Pastoral Stasi (KDPS) Hariantimur, Tuhan juga menunjukkan kasih-Nya dengan terkabulnya harapan kami untuk memiliki gedung gereja baru. Segala tantangan, bersama sahabat pengurus dan umat, kami lalui dengan penuh syukur.
Pada 14 Agustus 2014, Uskup Emeritus Mgr. A.G. Pius Datubara OFMCap menjadi Selebran dalam misa penahbisan gereja baru kami. Parokus kami, RP Hiasintus Sinaga OFMCap juga menyatakan apresiasinya kepada kami, mengingat kondisi perekonomian dan medan berat yang harus dilalui ke stasi Hariantimur.
Saya tidak pernah bermimpi dapat menjadi sosok yang turut membangun gereja baru di stasi kami. Saya juga merasa mustahil bisa menyekolahkan anak-anak kami hingga perguruan tinggi. Tetapi itu semua dicukupkan juga oleh Tuhan. Karena doa umat-Nya yang tekun dan teguh tindakan dalam hidup sehari-hari. Yakni, dalam hidup menggereja.
Sebagaimana dikisahkan kepada Ananta Bangun | dimuat di Menjemaat edisi Oktober 2014