Menyambut Era Jurnalisme Warga


Cover majalah TIME 2006

Entah masih relevan atau tidak dengan masa kini, tulisan opini (yang pernah dimuat di majalah Menjemaat) ini saya semat kembali di blog pribadi. Beberapa bagian dari pendapat saya dalam tulisan ini mungkin telah kadaluwarsa. Namun setidaknya menjadi artefak di dunia maya. Hehehe.

Semoga pemikiran dalam tulisan ini tidak menjadi ‘racun’ penghilang selera ber-sosial media.

***

Majalah TIME edisi Desember 2006 mengulas sosok paling berpengaruh untuk tahun tersebut. Di luar kebiasaan, halaman muka TIME menyemat bahan khusus mirip cermin di tengah gambar monitor komputer. Sehingga pembaca dapat melihat wajahnya di headline majalah tersebut. Seperti menegaskan judul utamanya : YOU. Dan sub-judul: Yes, You. You control the Information Age. Welcome to your world. Dengan kata lain siapapun anda, dapat mengubah dunia ini hanya dengan akses Internet. Benarkah?

TIME menyorot gebrakan baru yang menjangkit banyak orang dari teknologi Web 2.0, bernama People Power. Teknologi ini memampukan pengguna Internet untuk berkolaborasi dan berinteraksi dalam penyebaran informasi. Hasilnya sebuah dinamika luar biasa menjungkirbalikkan dominasi media mainstream yang dikelola perusahaan besar. Peristiwa 9/11, gerakan Koin Prita, kampanye Presiden Obama, bahkan penggulingan beberapa pemerintahan di ranah Arab (terkenal dengan sebutan Arab Spring) menunjukkan bagaimana Web 2.0 menjadikan media yang dikendalikan publik berubah dari sekedar memberitakan, kemudian menjurus mempengaruhi dan menggalang aksi massal.

Eksistensi Jurnalisme Warga (JW) merupakan efek domino People Power yang dimotori teknologi Web 2.0. Fenomena ini melahirkan sebuah corong publik bernama media sosial (social media), seperti Facebook, Twitter dan laman-laman tulisan pribadi dan kelompok dalam blog. Corong-corong tersebut menggantikan teknik penyebaran pesan dari mulut-ke-mulut via arisan atau rembug. Dan menjadi lumrah, saat seorang teman di Flores mendokumentasikan perayaan Paskah, saat itu juga kita bisa menyaksikannya.

Sejatinya jiwa sosial melekat pada manusia terejawantahkan dalam kegiatan berbagi informasi, untuk kemudian mengambil keputusannya sendiri. Pengembang Web 2.0 dan JW berangkat dari keyakinan telah saatnya publik memilih dan mempublikasikan informasi yang mereka pandang “penting dan menarik”. Kedua hal tersebut merupakan fondasi penting bagi perusahaan media. Dengan bahasa pemasarannya: pengembang media sosial cukup duduk santai, sementara masyarakat awam dengan gembira ‘mengerjakan’ pembagian informasi tanpa ganjaran honor.

Muncul pertanyaan mengenai bagaimana poros kekuatan ini bisa terbentuk. Masih ingat dengan anekdot matematika sosial bahwa 1+1 = 4? Benar! Bahan bakar utama gerakan People Power ialah kesepakatan sosial. Bila kesepakatan tergalang padu, apa dan siapa bisa diangkat dan dihempas dalam tempo cepat. Lebih dari itu, wadah JW turut menyatukan keping-keping aspirasi yang dianggap satu haluan. Dalam peristiwa koin Prita, keprihatinan yang tertuang di dunia maya kemudian membubung hingga dunia nyata. Walaupun sorotan media mainstream, perlu juga kita perhatikan, turut menyatukan aspirasi membantu korban Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) Tahun 2008 tersebut dari gugatan satu rumah sakit swasta ternama.

Keberadaan para JW berimbas pada rating reportase media mainstream. Kepemilikan maupun akuisisi media besar dari latar belakang politik praktis turut berperan menjatuhkan keyakinan publik atas laporan media tersebut. Sehingga jargon “Kebenaran Tidak Pernah Berpihak” dari media-media mainstream samar terlihat dalam kampanye politik pemiliknya yang amat gencar. Publik pun terbenam dalam ranah JW, baik sebagai pembaca/ pendengar/ pemirsa saja. Atau, bahkan, turut serta menyebar informasi apa yang mampu dan dinilainya layak untuk diketahui.

Mayoritas media mainstream memilih ‘berdamai’ dengan pelaku JW, alih-alih menyorot kelemahannya. Siapa tidak bergidik menyaksikan penggulingan pemerintahan Mesir yang diawali basis di Twitter dan Facebook? Beberapa perusahaan media melihat potensi JW ini.  Kita pun menjumpai kanal khusus JW baik di media cetak dan elektronik. Pada ranah media online, perusahaan media seolah menyiapkan sebuah ‘rumah’ khusus, agar reportase mereka tidak tercecer dalam blog atau social media pribadi saja. Di lingkup Asia, gagasan ini dirintis dengan baik di Korea Selatan, bernama Oh My News (www.ohmynews.com). Sementara di Indonesia, Kompasiana (www.kompasiana.com) milik Kompas termasuk satu yang berhasil membangun ‘rumah jurnalis warga’ tersebut. Teranyar, Tempo juga membangun Indonesiana (http://indonesiana.tempo.co) sebagai wadah berbagi artikel JW ini.

 

Jurnalisme yang Bias?

Tetapi, jurnalisme warga kerap menimbulkan kesan bias. Pengenaan nama jurnalisme mengesankan kelayakan dan pengaruhnya serupa dengan media mainstream. Bisa jadi pelaku JW menaati etika jurnalistik, sebagaimana ia bisa peroleh dari seminar, pelatihan atau buku pustaka. Namun, tetap saja pandangan pribadi tak terlepas dalam tindak liputannya. Ini bergantung pada latar belakang dan posisi apa yang ia ambil saat membuat tulisan tersebut. Meski demikian, dosa pelecehan independensi juga pernah didapati pada awak media mainstream.

Kekhawatiran para jurnalis profesional lebih condong pada pengaruh dan daya JW tersebut. Tentu cukup mengerikan bila membayangkan momentum Arab Spring terjadi di Asia. Sebagaimana peristiwa kerusuhan 1998 yang menghempas era pemerintahan Orde Baru. Para awam yang tidak memiliki jati diri profesionalisme sebagai jurnalis ada kemungkinan disusupi agenda tersembunyi dalam reportasenya. Terlebih bila data-datanya hanya diperkuat narasumber anonim, dan prasangka pribadi.

Pada akhirnya, publikasi pemberitaan baik dari jurnalis profesional dan jurnalis warga berpulang pada masyarakat pembaca/ pemirsa/ pendengar. Sisi baiknya, sudut pandang terhadap sebuah isu pemberitaan kian beragam. Namun, dibutuhkan kejelian dan kebijaksanaan memilah informasi yang sungguh sahih dan berguna. Kehadiran JW menambah kritis pemahaman pembaca dan jurnalisnya.

Fenomena JW ini akan menemui titik jenuhnya sendiri. Mirip pemandangan ruang DPR yang dihujani berbagai komentar, argumentasi dan tudingan, tanpa ada yang mendengarkan satu sama lain. Generasi pengguna gadget didapati semakin rendah dalam memberi perhatian. Dan peradaban kembali pada keintiman hubungan keluarga, bukan sekedar memandang dan membeo tulisan insan lain yang tidak dikenal.

 

dimuat di Menjemaat ed. Juli 2014