Fr. Nicolaus Heru Andrianto: “JURNALISTIK ITU ASYIK. SAYA JATUH HATI”


dok. Pribadi | Fr. Nicolaus Heru Andrianto

Blogger senior Priyadi Iman Nurcahyono (http://Priyadi.net) pernah menulis begini di lamannya: “Ngeblog adalah kutukan.”  Ada paradoks dalam untaian aksara itu. Tulisan yang mendapat tanggapan insan-insan lain adalah kebahagiaan. Di sisi lain, pembaca setia nan budiman terus menuntut tulisan terbaru untuk dibaca, dikritik maupun diresapi. Intinya, tidak hanya Priyadi maupun para blogger, namun nyaris seluruh manusia yang larut dalam pengabdian menulis aksara telah terkutuk. Akan tetapi itu adalah kutukan yang mengasyikkan.

Kata mutiara dari bung Priyadi terbersit di benak saya kala memperoleh kesempatan mewawancara Fr. Nicolaus Heru Andrianto. Sosok yang akrab disapa Fr. Heru, sebelumnya saya kenal via tulisan-tulisannya di Menjemaat, HIDUP hingga Rohani.

Semasa kuliah saya pernah tergelitik dengan sentilan seorang pewawancara di majalah Rolling Stone: “Saya penasaran untuk membongkar isi kepala narasumber.” Dalam tulisan ini, kiranya saya tak perlu membongkar isi kepala segala. Saya lebih berbahagia bisa menemukan inspirasi baru dari lubuk hati dan pengalaman seorang penulis seperti Fr. Heru. Sebab siapapun dia, selayaknya seorang penulis mesti pontang-panting belajar merajut aksara hingga akhirnya menemukan dirinya sendiri. Karena inilah ‘kutukan’ yang mengasyikkan itu adanya.

***

Kisah Panggilan Menjadi Imam Diosesan

Sebelum saya bercerita tentang pengalaman bergelut dalam dunia tulis-menulis, ada baiknya saya menguraikan sekilas kisah memilih jalan menjadi klerus. Ketertarikan menjadi Imam, berawal dari perjumpaan dengan Imam-Imam yang berkarya di Keuskupan Tanjungkarang, baik misionaris atau diosesan Tanjungkarang yang berkarya di Paroki kami. Selain itu, saya terinspirasi dengan Imam sepuh yang rendah hati dalam pelayanannya. Itu kesan awal saya. Selain itu, hidup doa kedua orangtua saya yang amat tekun, juga menginspirasi saya untuk semakin mencintai panggilan sebagai calon imam diosesan.

Di samping itu pengalaman yang bermakna adalah semasa kecil, saya pernah melakukan “misa-misaan” usai pulang ikut misa di gereja. Saya buat Piala dari dua tempurung kelapa yang telah disatukan, sedangkan hostinya dari tetesan lilin dan berbentuk bulat. Entah mengapa pengalaman itu membekas dan mengantar saya pada sebuah pilihan.

Dalam perjalanan waktu hal itu nyaris terlupakan. Namun panggilan dan ketertarikan itu kadang muncul kadang hilang. Bahkan semangat itu selalu saya pupuk dengan mengikuti kegiatan menggereja, misalnya Sekolah Minggu, Legio Mariae, OMK dan bahkan pernah juga saat SMA Negeri 1 Sidomulyo – Lampung Selatan menjadi pendamping beberapa kegiatan menggereja semacam itu.

Mendekati masa kelulusan sekolah, sebenarnya saya ingin sekali meneruskan kuliah di jurusan Biologi, karena saya amat menaruh minat di bidang itu. Namun saya juga dihadapkan pada pilihan untuk menentukan arah perjalanan saya selanjutnya.

Dalam keluarga kami, dua saudara saya telah meneguhkan langkah menjadi pelayan Gereja. Yakni, RD. Stepanus Widiyanto dan Sr. Eligia AK (Abdi Kristus). Sementara tiga saudara saya lainnya telah membangun hidup berumahtangga. Walaupun saya bungsu (dari enam bersaudara), bapak (Alloysius Asmorejo) dan Ibu (Theresia Ponijah) merestui keinginan saya mengikuti langkah dua anaknya, Romo Stepanus dan Suster Eligia.

Setelah tamat SMA, saya bilang: “Pak dan Ibu, saya ingin masuk seminari, apakah boleh?” Kemudian Bapak dan Ibu dengan senang hati menjawab, “Kalau itu memang pilihanmu, pilihlah dan jalanilah. Bapak dan ibu tidak bisa melarangmu dan hanya bisa mendukung dan mendoakanmu.”

Kemudian saya melanjutkan, “Namun pak dan ibu, saya akan menyelesaikan dulu kuliah saya jika saya diterima di UNILA (Universitas Lampung). Jika tidak diterima saya memang akan memilih untuk masuk seminari. Maka saya untuk mematangkan itu, saya akan berhenti satu tahun. Kemudian saya akan mendaftar ke Seminari Menengah Stella Maris Bogor.”

Kemudian hasil tes menunjukkan bahwa nama saya tidak ada dalam daftar penerimaan di UNILA. Saya tetap setia dalam waktu satu tahun untuk mematangkan pilihan saya menjadi imam. Dalam masa itu, saya mengikuti pembinaan-pembinaan dan juga dekat dengan kegiatan menggereja dan akhirnya memutuskan untuk melamar ke Seminari Menengah Stella Maris Bogor dan diterima.

Kemudian di sana saya menjalani masa pendidikan selama 2 tahun dan akhirnya lulus dengan baik tahun 2013. Kemudian saya melamar ke Keuskupan Tanjungkarang. Saat ini saya masih menjalani perutusan studi di STFT St Yohanes Pematangsiantar Sumatera Utara.

Motivasi saya memilih Tanjungkarang adalah gambaran medan pelayanan yang coba saya kenali dalam beberapa kesempatan, dan yang lebih penting lagi saya hendak mempersembahkan apa yang terbaik dalam hidup saya bagi Tuhan melalui pelayanan di Tanjungkarang. Dalam perjalanan waktu motivasi itu senantiasa semakin saya pupuk dan saya murnikan hingga benar-benar Tuhan memilih saya, itu doa dan harapan saya.

Dok, Pribadi | Fr. Heru dengan buku karyanya

Jatuh Hati dengan Dunia Jurnalistik

Dunia jurnalistik itu saya kenali dalam perjalanan waktu. Awalnya tahun 2008, ketika saya masih SMA. Awalnya saya meliput drama Jumat agung OMK di stasi saya ke majalah keuskupan yaitu NUNTIUS.

Karena saya belum kenal email maka saya pun kirimkan dengan tulisan saya dengan perangko Rp.5000, dan kemudian sampai hingga dalam edisi bulan depannya, ternyata tulisan saya dimuat. Bulan berikutnya saya diundang oleh KOMSOS Tanjugkarang untuk pelatihan jurnalistik, karena saya mulai terlibat dalam mengirimkan berita. Hingga saya ‘jatuh hati’ dengan dunia jurnalistik.

Tidak hanya berhenti sampai di situ. Saat di Seminari Menengah, saya juga sering mengirim artikel baik ke keuskupan Tanjungkarang, juga untuk majalah Keuskupan Bogor, majalah MEKAR. Saya biasanya mengirim liputan berita, juga refleksi pengalaman kecil dan menarik dalam keseharian, yang saya bingkai dalam refleksi.

Melalui media jurnalistik, saya suka berjumpa dengan orang, dan juga persitiwa. Maka hal ini saya pandang sebagai sisi lain pengembangan diri saya semoga juga baik untuk pelayanan kelak sebagai seorang imam diosesan. Waktu itu saya masih ‘menumpang’ dalam hal pengiriman berita karena saya sendiri belum punya email.

Cinta menulis pun kian tumbuh hingga mendorong saya mengirim tulisan ke HIDUP, EDUCARE, MENJEMAAT, UTUSAN, ROHANI, dan PETRA. Minat tersebut menginspirasi saya dan juga mendukung panggilan sebagai calon imam. Jurnalistik itu asyik dan saya jatuh hati.

Cover buku “Memeluk Fajar”

Memeluk Fajar

Setiap kali meliput adalah pengalaman yang bermakna. Bagi saya sendiri, liputan yang paling mengesankan adalah tentang sosok inspiratif dari kalangan “akar rumput”.  Meski berasal dari daerah namun kiprahnya amat penting dan dapat memberi kekuatan penyokong hidup menggereja. Mengapa demikian? Orang-orang yang semacam itu perlu saya perkenalkan melalui media, karena saya juga belajar menjadi jembatan informasi bagi banyak orang via tulisan liputan.

Saya juga terkesan dengan salah satu profil dalam yang dimuat di majalah HIDUP dalam kolom kesaksian. Beberapa minggu setelah diterbitkan, dia dihubungi banyak pihak. Bahkan ada keuskupan yang meneleponnya untuk mendapatkan pelayanan sebagaimana yang dia garap dan tekuni melalui karyanya itu. Saya bahagia mendapat kabar tersebut.

Dalam beberapa kesempatan meliput bersama-sama rekan wartawan profesional, saya kadang senyum geli sendiri. Mereka bekerja dengan perangkat teknologi nan lengkap, sementara saya hanya berbekal kamera pocket, buku tulis dan ingatan segar.

Di khasanah jurnalistik, saya bisa berjumpa dengan siapa saja. Mulai dari yang sederhana hingga yang memiliki jabatan. Yang mungkin jalur biasa sulit untuk dijumpai. Hanya dengan menulislah saya punya banyak relasi yang juga menambah. Dalam meliput saya berupaya memasukkan apa yang dialami narasumber dalam konteks saya yang adalah calon imam. Yakni, bagaimana hal itu saya pandang dalam perspektif iman dalam panggilan saya. Kerap saya bersua narasumber sebagai insan yang hebat dan teruji dalam hidup. Karena itu mereka juga menjadi inspirasi bagi saya.

Pengalaman meliput tersebut akhirnya mendorong saya menulis sebuah buku. Buku yang saya tulis itu terbit 23 Juli 2016. Merupakan buku perdana berjudul MEMELUK FAJAR : Perjalanan Hidup Kaum Berjubah. Berisi 163 halaman yang merupakan buah-buah refleksi saya, baik dalam lingkup keluarga saya, pengalaman panggilan. Dalam buku ini juga mengutarakan keseharian sebagai orang terpanggil, berisi pergumulan dalam panggilan selama menjalani panggilan sebagai calon imam.

Buku ini dicetak oleh CHARISSA PUBLISHER Yogyakarta. Saya bersyukur buku ini mendapat dukung oleh orangtua, dan saudara saya, dan juga Uskup Tanjungkarang Mgr. Yohanes Harun Yuwono berupa kata pengantar yang amat menyejukkan.

Makna dari “Memeluk Fajar” bahwa setiap hari itu selalu ada pilihan dan inspirasi. Dan hal itu harus dipeluk jangan sampai terlepas atau bahkan hilang. Dengan demikian pengalaman itu akan membekas jika dipeluk dan ditulis, sehingga akan abadi nantinya. Memeluk fajar berarti memeluk keseharian dari pagi, tengah hari, hingga malam, begitu seterusnya, dan saya refleksikan dalam bingkai panggilan yang tertuang dari pengalaman sederhana.

Akhir kata, saya hendak mewariskan sebuah kata mutiara: “Tarikanlah Pena kehidupanmu dan buatlah dunia tersenyum.” Ini adalah kata mutiara yang saya buat dan bagikan untuk setiap orang yang berjumpa dan saya hadiahi buku. Hehehhe

Saya yakin semua punya kehidupan dan keindahannya masing-masing, tapi bagaimana apa yang indah baik dan benar itu akhirnya berguna bagi dunia dan membuatnya tersenyum. Menulislah untuk merawat ingatanmu akan orang dan peristiwa hidupmu sendiri.

 

Sebagaimana dikisahkan kepada Ananta Bangun. | untuk dimuat di majalah online LENTERA