Mengapa Membuat Website?


Ilustrasi dari: http://www.pexels.com

Mengapa orang, organisasi maupun lembaga membuat website? Pertanyaan ini muncul ketika saya diminta memberi masukan atas laman milik satu kampus. Tidak ada yang begitu mempedulikan pertanyaan ini, kecuali sedang berpeluang atau ‘terpaksa’ membuat media di Internet tersebut.

Ternyata pertanyaan itu menggiringku lebih dalam. Bercengkerama dengan beberapa rekan penyedia jasa pembuatan website. Tidak hanya tips, namun juga contoh-contoh nyata bagaimana website yang berhasil dan gagal. Terima kasih kepada Papa Oscar (Nicholas Sihotang), Vinsensius Sitepu dan Fauzan yang sudi memberi pencerahan.

Karena berangkat dari diskusi tentang website kampus, saya membatasi fungsi website bagi lembaga pendidikan. Sebab kajian akan sangat melebar jika digarap secara umum.

Hal yang mula sepintas sederhana memiliki khasanah yang cukup ruwet juga. Tetapi, sebagaimana pertanyaan awal di prakata ini. Pemahaman kita akan hanya sebatas jawaban yang kita beri pada pertanyaan itu. Tabik.

***

Satu waktu seorang rekan memohon bantuan untuk memberi masukan atas situs web kampus yang dia pimpin. Saya menerimanya dengan syarat bahwa penilaian saya adalah sebagai pengunjung di media online tersebut.

Secara sepintas lalu, situs web tersebut tidak berbeda dengan milik lembaga pendidikan lainnya. Hanya beberapa bagian yang perlu dibenahi, seperti foto distorsi yang dimuat tidak seturut ukuran baku di template website itu.

Usai berbasa-basi dengan pembenahan, saya coba beranjak ke topik yang lebih menarik. Dengan bertanya: “Mengapa website ini dibuat?” atau lebih ‘tajam’ lagi “Apa tujuan utama pembuatan website ini?”

Dengan tenang dia menjawab: “Untuk menampilkan informasi tentang kampus kami.”

Jawaban yang klise (terlalu sering dilontarkan, sehingga maknanya memudar). Mengapa saya katakan demikian, tak lain karena investasi untuk membuat dan merawat situs web akan mubazir bila hanya berkutat di khasanah fungsi yang dilontarkan kawan saya tadi.

Agar mengguncang sedikit jawaban klise itu, saya coba memberi jawaban yang nadanya bertanya: “Apakah tujuannya tidak sampai mendorong pengunjung tertarik untuk mendaftar ke kampus saudara?” Itu membuatnya terperangah, dan (kali ini) dia menjawab terbata-bata: “Iya… Kalau bisa sampai ke situ (orang mendaftar sebagai mahasiswa) juga.”

***

Ilustrasi gambar dari: http://www.pexels.com

Semasa mempelajari bidang eksakta di sekolah dasar dan menengah, kita menemukan bahwa hampir keseluruhan materi pelajaran tersebut memiliki ukuran yang baku. Kilogram untuk berat, celcius untuk suhu dan meter untuk jarak.

Pengukuran juga terdapat dalam dunia branding (pencitraaan) hingga marketing (pemasaran). Sayangnya kebanyakan pemahaman tersebut hanya diterapkan pada hasil akhir, dalam kasus di tulisan ini, yah tentu saja pada jumlah mahasiswa yang mendaftar ke kampus rekan tadi.

Jangan kaget, bila ada lembaga pendidikan tak acuh pada informasi “Bagaimana/Apa yang membuat Anda akhirnya tertarik mendaftar ke sekolah/ kampus ini?”. Selama target jumlah minimal siswa terpenuhi, maka segala sesuatunya sudah beres dan tidak perlu dipelajari lebih jauh.

Sayangnya zaman persaingan semakin kompetitif (kalau tidak menyebut ‘ganas’). Pakar pemasaran Seth Godin mengatakan, kita telah memasuki era di mana konsumen selalu berkata “Me, Me, Me (Aku, Aku, Aku)”. Artinya konsumen semakin peduli dengan dirinya. Setiap yang dibeli hendaknya memuaskan dirinya.

Pengukuran efektivitas media termasuk dalam tahap mengenali perilaku konsumen itu juga. Yakni, aspek apa yang membuat mereka pada akhirnya memutuskan untuk merogoh koceknya untuk membayar barang/ jasa dari kita.

Google memiliki perangkat analisis bagi media online, bernama Google Analytics. Dengan perangkat ini (dari fitur gratis), kita dapat mengetahui statistik kunjungan, baik dari segi jumlah pengunjung, lama (durasi) kunjungan, demografi (asal), serta artikel dan kata kunci yang memicu jumlah kunjungan lebih banyak. Data yang diperoleh bisa lebih banyak jika kita bersedia membayar untuk versi Pro di Google Analytics. Dan keseluruhan data statistik tersebut dapat menjadi sarana yang sahih untuk menentukan tingkat pencapaian atas tujuan awal pembuatan website.

Dalam khasanah kampus katakan lah artikel atau kata kunci mengenai ‘peluang beasiswa’ maupun ‘testimoni/ pengakuan alumni yang sukses’ termasuk dalam pemicu jumlah kunjungan paling banyak tersebut. Dengan memanfaatkan fitur yang tersedia pada Google Analytics, di akhir hari dapat terukur secara akurat berapa banyak pengunjung yang masuk dari kata kunci tersebut, dan dapat membantu juga untuk menentukan strategi pemasaran di hari berikutnya. Apakah langkah selanjutnya adalah mengoptimasi artikel yang mengandung kata kunci tersebut atau mengalihkan usaha optimasi pada artikel berbeda yang mengundang pengunjung dengan kata kunci lain, yang ternyata lebih sukses mendatangkan pengunjung dibandingkan rencana awal. Ya, Google Analytics ibarat penasihat yang jujur, yang memaparkan data untuk membantu pemilik website dalam hal mengambil keputusan.

Apakah memanfaatkan layanan Google Analytics ini saja sudah cukup? Sayangnya belum. Sebab, artikel dan fitur yang tersedia di media online semestinya juga ‘menjemput bola’. Memang benar, budaya sharing di media sosial sangat membantu untuk mendongkrak popularitas media online. Tetapi keberuntungan seperti itu tak datang sekejap. Dia harus ditanam dan dirawat laiknya tumbuhan.

Bagaimana caranya? Tentu saja dengan mengenal target audience (khalayak/ orang yang menjadi sasaran) agar menjadi konsumen potensial. Untuk khasanah kampus, tentu saja sasarannya adalah insan yang telah menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas maupun Kejuruan. Di bidang usia, kita dapat menarik rentang usia dari 16 tahun hingga (katakan lah) 40 tahun. Mengapa demikian, sebab orangtua calon mahasiswa juga layak menjadi target audience. Mereka juga termasuk dalam keputusan memilih tempat belajar anak asuhnya.

Generasi millenial yang kini mendominasi siswa/i SMA dan SMK, pada umumnya sangat gemar mengoperasikan gawai. Selain sebagai hiburan, juga pusat menemukan informasi yang memenuhi kebutuhan mereka. Ini kabar gembira karena media online mudah menarik perhatian calon mahasiswa tersebut.

Jadi, jika website seharusnya menjadi perwakilan Anda di dunia maya, buat dia berbicara untuk Anda. Dan biarkan kisah yang dibagikannya memberi inspirasi atau manfaat sehingga memberi alasan bagi orang lain untuk meneruskannya ke jejaringnya.