Belajar Menghayati Doa, Tobat, Derma & Puasa Dalam Hidup Keluarga


“Keluarga adalah sel dasar masyarakat, dimana kita meskipun berbeda, belajar hidup bersama orang lain dan menjadi milik satu sama lain; keluarga juga merupakan tempat dimana orangtua mewariskan iman kepada anak-anak mereka” (Evangelii Gaudium 66).

 

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) ke-4 tahun 2015 merefleksikan keluarga Katolik sebagai sukacita Injil; Panggilan dan perutusan keluarga Katolik dalam Gereja dan masyarakat Indonesia yang majemuk. Yakni, menumbuhkan kembali dan mengembangkan komunikasi kasih dan kemampuan perutusan cinta kasih dalam keluarga guna menghadirkan kesejahteraan hidup bersama yang penuh dengan kedamaian. Sinode-VI Keuskupan Agung Medan (KAM) juga menegaskan pentingnya peran tersebut dengan tema utamanya: “Keluarga, Gereja Kecil.”

Atas dasar peristiwa dan tema pastoral SAGKI ke 4 tahun 2015 yang dibuat lima tahun sekali, gerakan Aksi Puasa Pembangunan (APP) tahun 2017 – 2019 ialah: “Penghormatan dan Penghargaan Keutuhan Ciptaan Demi Kesejahteraan Hidup Bersama”. Sementara tema APP 2017 untuk KAM — seturut pertimbangan dan pengharapan oleh Uskup Keuskupan Agung Medan, Mgr. Anicetus B. Sinaga OFM Cap akan fokus pastoral yang bersumber dari hasil Sinode-VI KAM — adalah “Keluarga sebagai Sekolah Perdana dan Utama Kehidupan.”

Tema tersebut mengingatkan bahwa, dalam keluarga, kita untuk pertama sekali mendapat pendidikan dasar kemanusiaan dan iman. Guru utama di dalam keluarga adalah orangtua, yang juga menyandang peran Imam-Pengudus, dan Gembala-Pemimpin. Keluarga sebagai sumber pendidikan, juga merupakan sarana yang membantu manusia memperoleh identitasnya sendiri. Karena didirikan atas dasar cinta kasih dan terbuka bagi anugerah kehidupan.

Alfian Purba Tamsar bersama Istri dan Anak anak (Foto dok. Pribadi)

Majalah Menjemaat mendalami penghayatan nilai-nilai tersebut dalam aksi APP (Doa, Puasa, Derma & Tobat), melalui pengalaman satu keluarga Katolik di Paroki St. Fransiskus Assisi – Saribudolok. Yakni, dari keluarga pasangan Alfian Purba Tamsar dan Rosnida br Sinaga.

Sembari melakoni pekerjaan bertani dan beternak, Alfian telah lama menggeluti pelayanan di gereja. Baik di lingkup Stasi dan Paroki. “Pelayanan saya di Paroki Saribudolok sudah tiga periode menjadi anggota DPP. Saya selalu terlibat menjadi panitia setiap ada kegiatan di Paroki. Sementara di Stasi St. Pio – Purba Hinalang telah dua periode menjadi Ketua Dewan Stasi Harian dan sekarang menjadi Sekretaris Stasi Purba Hinalang,” tutur Alfian, yang juga menjabat Kepala Cabang Kopdit/CU Cinta Mulia Saribudolok.

Menurut Ayah dari tiga putra dan satu putri ini, menjalani masa APP merupakan proses membenahi iman Keluarga dari tahun ke tahun. “Tentu sesuai dengan ajaran yang disosialisasikan Gereja. Doa, Puasa, Derma dan Tobat merupakan tekanan utama sebagai wujud dari pelaksanaan APP.”

Dia mengatakan, wujud pelaksanaan tersebut masih sebatas usaha sampai dimana bisa dilaksanakan bersama Istri, dan anak-anaknya: Alveriana Purba (mahasiswi Unimed Semester VIII), Suhendro Purba (Postulan Kapusin di Naga Huta), Joy P.Purba (Siswa kelas II SMK St.Yosef Pematang Siantar), Barry Purba (Siswa Kls II SD Don Bosco Saribudolok).

“Kami melaksanakannya seturut kehidupan di pedesaan dan pekerjaan dan disadari masih jauh dari kesempurnaan. Sebagai contoh, berdoa bersama dari tidak pernah menjadi paling tidak sekali sehari. Kemudian Puasa, hanya mengurangi makanan yang enak dan jajan; di mana setiap Jumat tidak makan daging, serta menjaga tutur kata. Derma ditingkatkan sebagai hasil sumbangsih untuk Amplop APP. Dan Tobat, dengan meningkatkan pola hidup yang dianggap baik,” katanya.

Beberapa hal lain juga kerap dilakukan keluarga Alfian berkenaan pada masa APP. “Diantaranya menjaga lingkungan sekitar (rumah kita sendiri)agar tetap bersih,asri dan nyaman, Menanam pohon paling tidak 10 pohon pada masa APP, Menata hati agar tetap adem, dan Tidak memberitahu tengah berpuasa kepada orang lain” ujarnya, seraya mengungkap tergugah berhenti merokok sejak masa APP di tahun 2002.

Menurut Alfian, tantangan yang dihadapi dalam menghayati wujud APP tidak terlalu berarti. “Karena pelaksanaannya adalah hal-hal yang tidak terlalu berat seperti disebut sebelumnya. Namun, kita juga harus membuat tekad walaupun dimulai dari hal-hal sepele dan yang ringan,” katanya.

Pengagum sosok Pastor Elpidius Van Duijnhoven (Oppung Dolok) dan Pastor Ambrosius Nainggolan ini, melontarkan harapan kiranya pelaksanaan APP 2017 mengilhami keluarga tetap bersatu dan rukun. “Anak-anak mendapat bekal iman untuk menjalani kehidupannya dan tentunya menjadi contoh yang baik bagi masyarakat lain terutama umat Allah,” tutur Alfian kepada Menjemaat.

 

Keluarga, Tempat Pembelajaran Iman yang Utama

Beranjak ke umat di Paroki St. Antonius dari Padua – Hayam Wuruk, Medan. Bagi Herman L. Ratuliu, APP merupakan latihan keimanan pribadi. “Pada masa Prapaskah ini, kita diarahkan lebih fokus atau menggantungkan diri kita kepada ‘puasa diri’ lebih dari hari-hari biasa,” ujarnya kepada Menjemaat. “Puasa diri di sini bukan hanya ditujukan pada ‘urusan perut’ atau pangan saja, namun menahan kebiasaan/kesenangan diri sendiri. Mungkin kalau kita hilangkan tidak akan mempengaruhi diri kita, bahkan akan memberikan dampak yang cukup baik bagi kita.”

Ketua Seksi Evangelisasi di Paroki Hayam Wuruk ini mengatakan, menghayati mati raga ini berkat bimbingan dari orang tua. “Khususnya Ibu yang semasa hidupnya sangat taat dengan aturan gereja. Pada masa puasa, setiap hari Jumat pantang makan daging, walaupun aturannya sekarang telah lebih diperbaharui. Namun kami tetap menjalankan aturan ini dalam keluarga. Kami sering saling mengingatkan ‘hari ini Jumat. Jangan masak daging ya.’ Wah..bagi kami ini merupakan hal yang positif, sebab akan mengurangi uang belanja pada hari itu (di samping tidak mempengaruhi tekanan darah. Maklumlah kalau hipertensi, hahaha…. ,” jelas suami Sudarty Monica ini disusul tawa berderai.

keluarga Herman Ratuliu (Foto dok. Pribadi)

Dia menambahkan bahwa puasa adalah momen pertobatan sekaligus amal bakti serta doa dalam membantu sesama saudara yang sangat membutuhkan selalu harus dijunjung tinggi dan diperbaharui dari tahun ketahun. Sebab pertobatan menjadi salah satu tujuan dalam masa puasa, namun bagaimana kalau selesai masa ini,kita terlena lagi dengan keadaan kita yang penuh hura hura.

“Pengalaman yang kami terima khususnya di Paroki St. Antonius Padua Hayam Wuruk, bahwa pada masa Puasa, umat diberikan banyak waktu dan kesempatan untuk “menjalin hubungan yang sangat akrab” dengan Tuhan. Baik dalam pengakuan dosa yang diadakan di rumah umat di setiap lingkungan,sehingga umat lebih terbuka dan siap untuk menerima sakramen ini,” katanya. “Bagi kami di keluarga kesempatan ini benar dipakai untuk menerima anugerah-Nya lewat pengakuan dosa dan pemberkatan rumah yang kami terima setiap masa puasa.”

Ayah dari Andry F.Ratuliu, Christian Th.Ratuliu, Frans B.Ratuliu dan Alvin A.Ratuliu ini juga memandang aksi berderma (amal bakti) selama puasa juga tindakan yang baik. “Gereja, dalam hal ini paroki kami, menganjurkan untuk menyisihkan rezeki yang diterima secara baik melalui tabungan/celengan guna dibagikan melalui paroki. Dengan harapan agar kita umat dapat setiap hari menyisihkan bantuannya kedalam celengan tadi.”

“Apakah hal ini akan menjadi suatu kebiasaan atau perayaan gerejawi saja ? Apakah tidak ada harapan kita sehingga pada setiap masa puasa kita jalankan dan lewatkan dengan biasa biasa saja,” ujarnya. “Kami selalu berpikir dan mengenang pada masa puasa, bagaimana sesudah masa puasa ini? Tentunya agar kita selalu hidup baik, bersih, berdisiplin dan tekun bahwa kita tidak akan jatuh dalam dosa sekecil apapun. Sehingga pada masa puasa mendatang, Tuhan selalu akan tersenyum melihat kita, karena tidak ada yang datang padaNya untuk mohon ampun.”

Dia menyambut baik gagasan keluarga memang menjadi tempat pembelajaran yang paling utama. “Di mana gurunya (orang tua) harus mempunyai tingkah pola yang baik yang akan menjadi gambaran bagi muridnya (anak-anak ), dan memberikan contoh, disiplin hidup yang melekat sepanjang hidupnya,” kata Herman yang baru dikaruniai seorang cucu perempuan.

 

(Ananta Bangun) | ditulis untuk majalah Menjemaat edisi Maret 2017.