Tiga Bulan Sekamar dengan Pasien Rehabilitasi Narkoba


Sr. Beatrix Lingga, KSSY adalah Direktris ‘RUMAH KITA’, penanganan rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Dalam tulisan ini, dia mengisahkan bagaiman pendampingan bagi residen (pasien rehabilitasi) tidak akan sepenuhnya dipahami bila hanya berkutat pada terori atau ceramah belaka. Berikut petikan pengalamannya.

Sr. Beatrix Lingga di depan gedung RUMAH KITA
Sr. Beatrix Lingga KSSY di depan gedung RUMAH KITA

Ketaatan adalah salah satu kaul dalam hidup klerus (biarawan/ biarawati). Setiap perutusan dari kongregasi harus lah dipatuhi sungguh-sungguh. Maka, saat pimpinan Kongregasi Suster Santu Yosef (KSSY) mengutus saya untuk belajar Pendampingan Rehabilitasi bagi Pecandu Narkoba di Bogor, saya lekas turuti. Meskipun sesungguhnya saya kurang mengerti perihal pendampingan bagi pecandu narkoba.

Saya masih ingat persis tanggal keberangkatan saya bersama satu rekan, Sr. Priscila KSSY, dari Medan, 5 Februari 2013 (hari Selasa) tepat pukul 03.00 WIB dini hari. Sembari menahan kantuk, kami bergegas berangkat menuju bandara agar tidak ketinggalan pesawat pagi.

Setiba di Jakarta, kami berdua mampir di satu komunitas Suster KSSY. Seorang rekan Suster (Sr. Wilfrida KSSY) — yang juga diutus untuk turut pelatihan ini — telah menanti kami di komunitas tersebut. Namun, pimpinan kami komunitas menyuruh kami untuk buru-buru sarapan pagi, agar bergegas menuju tempat pelatihan di Panti Rehabilitasi Narkoba Terpadu Kedhaton Parahita, Bogor, Jawa Barat. Kebetulan saat itu, seorang umat Katolik setempat berkenan menghantar kami.

Sembari beristirahat usai perjalanan jauh, kami terlelap di mobil yang menghantar kami ke Kedhaton. Tanpa menyadari satu pengalaman besar bakal mengubah hidup saya selamanya, tentang pendampingan para korban narkoba.

Ya sudah. ‘Cemplung’ saja

Setiba di Kedhaton, saya merasakan kejanggalan. Saat pendaftaran nama kami bertiga, staf yang berjaga, bertanya pada Suster pimpinan komunitas yang mengantar kami: “Ini langsung cemplung atau bagaimana, Suster?”

“Ya sudah. Cemplung saja,” jawab Suster tersebut.

Ha! Apa sih maksudnya cemplung­ segala. Demikian tanya dalam benak saya.

Seorang staf lain langsung menghantar kami memasuki ruang khusus bagi kami bertiga. Sementara Suster pimpinan komunitas dan umat tadi segera berlalu pulang. Di dalam ruangan tersebut, tas kami bertiga digeledah layaknya polisi terhadap pelaku kejahatan. Mereka mengeluarkan seluruh barang-barang dalam tas kami dan mengatakan hanya beberapa pakaian saja yang boleh dibawa masuk. Sementara buku, obat, jam tangan, termasuk ponsel akan disita selama pelatihan.

Tentu saja saya langsung protes. “Apa-apaan sih ini! Tahu ga masih pusing karena tadi berangkat pagi-pagi sekali,” ujar saya. Dua rekan Suster lainnya juga menyampaikan keluhan senada.

Namun, para staf tersebut tidak mengacuhkan protes kami. Sebaliknya, mereka segera menghantar ke kamar inap kami selama tiga bulan pelatihan di Kedhaton. Tak butuh waktu lama bagi kami mengetahui bahwa kami masing-masing ditempatkan sekamar dengan residen (sebutan untuk pasien rehabilitasi di Kedhaton). Astaga! Tiga bulan sekamar dengan pasien pecandu narkoba.

Sebelum istirahat malam, seorang staf mengingatkan kami: “Suster, jangan lupa ya. Besok pagi semua bangun pukul 05.00 WIB.” Glek! Mendengar itu saya langsung terkapar. Dan memutuskan untuk tidur pulas, bertekad bangun pagi pukul 07.00 WIB.

 

Perlahan-lahan Mulai Memahami

Perasaan dongkol sejak mulai masuk Kedhaton bukannya berkurang, malah semakin menumpuk. Sebab kami bertiga diberikan jadwal sebagaimana para residen di rehabilitasi tersebut. Sejak bangun pagi hingga menjelang malam, selalu dijejali berbagai aktivitas padat. Mulai dari membersihkan kamar tidur, kamar mandi, hingga aneka kegiatan yang berkenaan dengan motivasi jiwa dan iman. Kami juga diwajibkan hanya boleh mengkonsumsi air mineral untuk minuman.

Ini semua jungkir balik dari bayangan saya semula, bahwa pelatihan hanya berkutat pada kegiatan membaca buku modul, mendengarkan ceramah ataupun diskusi. Seandainya saja ponsel tidak disita, saya tentu segera menghubungi pimpinan kongregasi untuk menyampaikan sistem pelatihan yang aneh ini.

Ada satu peristiwa yang unik, ketika kami makan siang bersama para residen (usai kelelahan setrika pakaian) seorang staf rehab menyapa satu rekan suster: “Bagaimana Suster, perasaannya selama di Kedhaton?” Bukannya balas menjawab, perasaan rekan saya tercurah dengan tangis pilu. Staf tersebut pun lekas berlalu karena salah tingkah.

Melewati masa satu bulan, saya dan rekan suster mulai menyadari makna dari gemblengan Kedhaton. Pendampingan residen tidak lah berkutat dengan teori dan pembekalan biasa. Para pasien hendaknya selalu disibukkan dengan berbagai aktivitas, agar tidak sempat larut terfikir mencoba narkoba lagi. Di samping gaya hidup bersih dan disiplin diharapkan merasuk pada diri residen. Para residen juga diarahkan fokus fikiran dan tenaganya pada kegiatan-kegiatan yang telah dirancang khusus bagi residen. Mulai dari menghafal semboyan, nilai, dan lainnya.

Kedekatan dengan residen satu kamar juga menambah pemahaman kami tentang mereka. Tentang bagaimana mereka dapat menerima kami seutuhnya sebagai teman. Tentu saja dengan menjauhkan rasa curiga maupun menghakimi mereka. Uniknya, saya pernah diajak untuk melarikan diri dari rehabilitasi. Sambil menahan geli, saya coba pura-pura untuk mengiyakan. Namun di akhir perbincangan, saya bilang hampir mustahil untuk melakukan itu. Dan teman sekamar itu pun mengangguk-angguk membenarkan.

Tiga bulan pelatihan pendampingan di Kedhaton sungguh bermakna bagi kami. Tidak hanya acting sebagai residen, namun belajar menjadi pendamping dan setiap posisi staf di rehab tersebut. Meskipun selama sebulan, kami isi dengan merepet terus. Hehehe. Pengalaman cemplung tersebut semakin bermakna ketika dipercaya oleh Kongregasi untuk pelayanan di rehabilitasi RUMAH KITA, Jl. Bougenville – Medan.

— sebagaimana dikisahkan kepada Ananta Bangun