
Istriku, Eva Barus, mengawali bincang seusai makan malam kami tentang setangkai mawar. “Lihat mawar ini baru mulai mekar,” ucapnya, seraya menunjuk pada tumbuhan yang bersemburat dari polybag-nya yang kusam.
“Biarpun kecil, tapi bikin perbedaan.”
Kata kunci itu membuat pikiranku menarik ingatan pada catatan pingggir Goenawan Mohammad berjudul “Sopir”. Dari bantuan mbah Google, aku tercenung membaca tulisan yang dimuat di majalah Tempo edisi 15 Maret 2010 ini:
“… . Hening itu sebentar, tapi begitu berharga dan mengejutkanâseperti anggrek putih yang sendirian di kebun di sebelah kamarnya itu, kebun dengan tiga batang pohon dan 3 x 3 meter persegi petak rumput. Anggrek itu di sana tampak yang paling beda, sebuah selingan, sebuah surprise.“
Mawar kecil itu pun sebuah selingan bagi kami. Penyegar di tengah-tengah ributnya cengkerama hingga debat tentang Pemilihan Kepala Daerah 2017, khususnya di DKI Jakarta. Walaupun tak bersuara, mawar itu berdaya pikat mengalihkan perhatian kami. Untuk menemukan ilham yang membersihkan ruang hati dari debu-debu curiga, pesimis hingga benci.
Menuliskan tentang keheningan si bunga, (lagi-lagi) aku teringat tulisan yang kubuat untuk Tajuk di majalah online Lentera edisi Oktober 2014. Berjudul “Yang Hening Lebih Bersuara.” Aku merujuk peristiwa bernama âParade Senyapâ dari buku karya Guy Kawasaki.

Peristiwa itu berlangsung pada 21 September 1994 lalu. Bertempat di pelataran Capitol atau Gedung Kongres Amerika Serikat. Di rerumputan sisi gedung tersebut, 38.000 pasang sepatu dihamparkan. Pasangan sepatu kosong.
Jumlah sepatu kosong tersebut ialah perlambang. Sama dengan jumlah yang kehilangan nyawanya karena kepemilikan senjata api di negara Paman Sam itu. Demikianlah selarik pesan dari para penentang Undang-Undang Kepemilikan Senjata Api. Ringkas. Dan senyap.
Di dunia yang telah hiruk-pikuk dengan teriakan dan deru mesin, mampukah yang senyap didengar? Uniknya, meski bertajuk âSilent Marchâ, aspirasi penolakan tersebut berhasil merebut perhatian media. Menggoyahkan sikap pemerintah.
Berbeda. Pendekatan yang dirancang dengan serius oleh pendemo tersebut. Semangat inilah yang lalu menulari cara kita menggugah insan lain. Dan kemudian menanamkan pesan inti dari kita.
Terima kasih, mawar kecil. Sebab telah menggamitku kembali pada hikmat yang sempat ‘mati suri’. Entah bagaimana jadinya akhir tulisan di blog ini tanpa mengutip petikan menarik dari catatan pinggir ‘Sopir’ itu:
“Kalau hidup tanpa surprise, apa jadinya dengan Penciptaan? W bertanya pada diri sendiri. Ia ingat seseorang mengutip Kant: âDie Schöpfung ist niemals vollendetâ. Penciptaan tak pernah usai. Pagi bukanlah serangkaian repetisi.“
RUJUKAN
https://caping.wordpress.com/2010/03/15/sopir/
http://majalahlentera.com/2014/10/lentera-news-edisi-7-oktober-2014-mengintip-bisnis-kreatif/
https://guykawasaki.com/books/enchantment/