Tak Sekedar Pemberitaan, Namun Juga Memolah Fikiran?


Diambil dari: thegirlwithbrokenwings.wordpress.com
Diambil dari: thegirlwithbrokenwings.wordpress.com

Ide mengenai media sebagai pembentuk opini (mindset framing) bermula dari sebuah drama ecek-ecek di radio CBS Radio Studio One, New York – Amerika Serikat, pada 30 Oktober 1983 silam. Sang narator, Orson Welles saat itu tengah asyik cuap-cuap sebagaimana tertulis dalam naskah. Begini isinya: “Wah. Tunggu dulu! Sepertinya ada sesuatu muncul! Pendengar sekalian, saya melihat sesuatu yang mengerikan. Tampak ujung dari benda tersebut mulai mengelupas! Bagian atasnya mulai berputar seperti sekrup! Benda itu pasti terbuat dari besi! Ini benda paling menakutkan saya yang pernah saya lihat! Tunggu sebentar. Tampaknya seseorang merangkak keluar dari bagian atasnya yang berongga. Orang ataukah … benda. Dan saya masih terpaku menatap dua cakram bercahaya di depan … apakah itu mata? Atau mungkin itu wajah. Yah bisa jadi…?

Patut diperhatikan, pada masa itu radio merupakan arus utama di dunia. Pun sajian hiburan fiksi ilmiah belum jua rutin diputar. Dampaknya tentu saja berujung kepanikan massal. Segera setelah drama berdurasi satu jam tersebut disiarkan, masyarakat berbondong-bondong ke stasiun radio CBS dengan membawa berbagai perabot. Jalan-jalan dipenuhi suasana histeris. Rumah-rumah ibadah penuh sesak oleh manusia yang ingin bertobat. Semuanya mengira bahwa cerita drama tersebut adalah sungguhan. Baru setelah Orson dan CBS menjelaskan duduk perkara sebenarnya, masyarakat kembali tenang.

Sisa dari anomali peristiwa drama Orson Welles turut menjadi sejarah. Tetapi tanpa sengaja, Orson menciptakan momentum baru dalam memahami media. Setelahnya para ilmuwan menyadari betapa besar pengaruh media membentuk sikap, pendapat dan bahkan keputusan masyarakat. Dari penemuan inilah kerap dicetuskan: “Mereka yang menguasai informasi akan menguasai dunia.”

Sesungguhnya fenomena mindset framing itu sudah diantisipasi oleh Marshall McLuhan melalui bukunya, ‘Understanding Media‘. McLuhan telah memperingatkan tentang masa depan manusia yang akan berubah karena penemuan media audiovisual. Satu adagium yang populer dalam buku tersebut ialah: “The Medium is the Massage“. Media adalah pesan itu sendiri. Yakni, media sendiri ikut membentuk cara berfikir dan cara hidup penggunanya.

McLuhan memberikan contoh menarik, yakni lampu bohlam. Jika dilihat sebagai suatu medium, betapapun tanpa pesan, kita mendapati pengaruhnya dalam mengubah cara hidup penggunanya sungguh luar biasa. Jika dibandingkan, cara hidup orang sebelum dan setelah ditemukannya bohlam sangat berubah. Bohlam memungkinkan orang beraktivitas bebas pada malam hari, yang sebelumnya terkendala kegelapan. Sehingga produktivitas manusia meningkat. Orang-orang tidur lebih malam. Keluarga dan komunitas memiliki lebih banyak waktu untuk bercengkerama, dan lainnya.

 

Meloncati Budaya Membaca (Literasi)

Artikel ‘Era Media Membicarakan Media’ di Harian Kompas ed. Senin, 30 Januari 2017, mengulas perbedaan lokasi penangkapan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar oleh tiga media arus utama. “Kok bisa? Apakah semata mengejar kecepatan sehingga media itu tidak tak perlu meminta klarifikasi dari Pihak berwenang” kata Direktur NU Online Savic Ali. Demikian dicantum oleh Kompas.

Pada era digital, mindset framing sengaja dibuat para pengelola media digital. Lebih menantang lagi, pembentukan pola fikir ini nyaris dilakukan semua media digital yang sudah memiliki reputasi tinggi. Goreng-menggoreng informasi dan melihat sisi “berbeda” ketika narasumber mengeluarkan pendapat sudah, sudah jamak terjadi.

Praktik mindset framing sudah dikerjakan secara masif dan terencana, serta dikemas meyakinkan. Ia dilakukan dengan berbagai alasan dan kepentingan. Pelakunya, bukan sekedar media abal-abal yang tidak jelas pengelolanya.

Permasalahan yang patut mendapat perhatian adalah masyarakat Indonesia meloncat dari budaya tutur ke budaya digital, tanpa sempat menyerap budaya membaca (literasi). Sehingga sering meminggirkan etika dan kewarasan pola fikir. Berita-berita bombastis tanpa fakta disebar secara masif melalui media sosial.

Bagaimana kiat memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi dengan sehat? Tidak sederhana menjawabnya. Namun, bagi pribadi-pribadi yang dibesarkan dalam budaya membaca, jauh lebih beruntung karena cenderung tak terkena geger digital. Hanya saja penganut budaya membaca adalah warga minoritas

 

Bagaimana jika?

Bagaimana jika kita coba mengulang efek drama Orson Welles di atas? Mudah saja. Mulanya kita akan meriset isu paling sensitif di tengah komunitas manusia sasaran kita. Agama, marga, suku, pekerjaan, takhayul. Semua dikupas dengan ‘wawancara’ ringan di kedai kopi, balai desa, atau per pribadi.

Tak lama kemudian bisikkan saja hal miring tentang salah satu isu paling sensitif tersebut. Arahkan pada satu insan paling dibenci oleh komunitas tersebut. Kemudian, virus isu itu akan berkelana liar tiada akhir. Mungkin saja bisa berakhir, jika komunitas itu akhirnya mengerti literasi media. Tentang bagaimana media sengaja membentuk mindset framing agar akal budi tumpul dan jiwa ditunggangi emosi tak bernalar.

— ditulis untuk majalah online Lentera (www.majalahlentera.com)

Pustaka

* Bisa dirujuk dari laman http://www.history.com/this-day-in-history/welles-scares-nation

* Etika dan Filsafat Komunikasi oleh Muhammad Mufid. 2009. Kencana Perdana Media Group.

* “Gaya Hidup Digital” oleh A.M. Lilik Agung. Rubrik ‘Kolom’ di majalah HIDUP, ed. 6 Maret 2016. http://m.hidupkatolik.com/index.php/2016/04/04/gaya-hidup-digital

* “Zaman Kacau” oleh Haidar Bagir. Rubrik ‘Kolom’ di majalah Tempo, ed. 28 Februari 2016.

https://majalah.tempo.co/konten/2016/02/22/KL/150142/Zaman-Kacau/52/44

* ‘Era Media Membicarakan Media’ di Harian Kompas ed. Senin, 30 Januari 2017.